Resakralisasi Masjid

Membahas dilema resakralisasi Masjid Syuhada Kotabaru di tengah maraknya aktivitas tongkrongan bebas dan street coffee. Penulis menawarkan strategi transformatif berbasis arsitektur dan program terstruktur untuk menciptakan keseimbangan antara inklusivitas dan sakralitas, tanpa terjebak dalam eksklusivitas atau invasi profan.

ESSAI

Kholid Misyálul Haq, S.Ars

9/7/20253 min read

Gambar: Ilustrasi Gerbang Pintu Utama Masjid Syuhada

Oleh : Kholid Misyálul Haq*

Dilema di Depan Pintu Masjid

Akan selalu menjadi pembahasan, Setiap malam, di sepanjang Jalan I Dewa Nyoman Oka, Kotabaru, lampu-lampu street coffee menyala berderet seperti kunang-kunang yang memanggil para pemuda. Di depan Masjid Syuhada, mereka duduk melingkar di atas kursi pendek, tertawa riuh dengan minuman di tangan, sementara cahaya lampu menyoroti pagar pintu masjid yang hampir selalu tertutup. Ini bukan sekadar pemandangan biasa, ini adalah dilema resakralisasi: apakah masjid harus membuka pintunya lebar-lebar untuk merangkul dunia, atau menguncinya rapat-rapat untuk melindungi kesakralan?

Fenomena ini adalah cermin dari pertarungan yang lebih besar: antara ekspansi sakralitas dan invasi desakralisasi. Kotabaru, dengan warisan arsitektur kolonialnya yang megah, telah menjadi medan pertempuran tak kasatmata antara nilai-nilai spiritual dan gaya hidup urban yang pragmatis (Noor Suwanto, 2018). Masjid Syuhada, sebagai simbol sakralitas, berada di pusat konflik ini.

Mengurai Dilema: Eksklusivitas vs. Inklusivitas

Sejak lama, masjid-masjid di Indonesia cenderung memilih menjadi benteng eksklusif: pintu ditutup setelah waktu ibadah, pagar dibangun tinggi, dan aktivitas terbatas pada ritual formal. Strategi ini lahir dari kekhawatiran akan invasi nilai-nilai non-sakral seperti yang terjadi di Kotabaru, di mana tongkrongan bebas kerap disertai minuman keras dan perilaku antisosial. Namun, pendekatan eksklusif justru memperlebar jarak antara masjid dan masyarakat, terutama generasi muda yang semakin teralienasi dari ruang religi.

Di sisi lain, membuka masjid 24 jam tanpa strategi jelas adalah bom waktu. Tanpa pengawasan ketat, program yang terstruktur, dan desain ruang yang mendukung, masjid bisa menjadi sasaran empuk aktivitas profan seperti yang dikhawatirkan oleh Anthony Giddens (1990) dalam konsep commodification of space, di mana ruang sakral dapat dikomersialisasi atau didominasi kepentingan duniawi.

Jalan Tengah: Strategi Resakralisasi Berbasis Arsitektur dan Program

Resakralisasi Masjid Syuhada tidak boleh terjebak dalam dikotomi eksklusif versus inklusif, melainkan memerlukan pendekatan transformatif yang memadukan kecerdasan arsitektur dengan visi program yang progresif. Pertama, dari sisi arsitektur, kita perlu menciptakan ruang-ruang transisi yang berfungsi sebagai penyangga sakral-profan. Plaza serambi terbuka dengan sitting group permanen dari kayu, dilengkapi pencahayaan hangat dan ornamen kaligrafi, dapat menjadi magnet aktivitas positif tempat diskusi, baca buku, atau sekadar menikmati kopi halal sekaligus penanda batas imajiner yang lembut antara dunia luar dan ruang utama masjid. Pembatas simbolis transparan, seperti screen wall bermotif islami atau pergola dengan tanaman rambat, tidak mengisolasi masjid, justru mengundang masyarakat untuk melangkah lebih dalam, sambil menjaga marwah kesakralan. Konsep ini mengadopsi spirit Shuffah di Masjid Nabawi, yang dahulu menjadi ruang multifungsi: tempat tinggal sementara, sekaligus pusat belajar dan interaksi sosial (Kuntowijoyo, 2017).

Kedua, pembukaan masjid 24 jam harus dibarengi dengan program terstruktur yang mengakomodasi kebutuhan generasi muda tanpa mengorbankan nilai-nilai spiritual. Malam Belajar dengan fasilitas wifi dan kopi gratis dapat menjadi alternatif sehat dari street coffee, sementara Ngaji OTS (On The Street) yang sudah ada perlu diperluas dengan melibatkan pemuda tongkrongan sebagai relawan, bukan objek semata. Lapak UMKM syariah di halaman masjid tidak hanya menawarkan produk halal, tetapi juga menciptakan ekonomi kerakyatan yang memberdayakan. Program-program ini dirancang untuk "merebut" ruang dan waktu malam dari gempuran aktivitas profan, dengan prinsip: hadir lebih menarik, lebih bermakna, dan lebih manusiawi.

Ketiga, resakralisasi harus bersifat kolaboratif—melibatkan komunitas lintas agama dan pemangku kepentingan kawasan. Festival budaya Kotabaru, misalnya, dapat digelar secara rutin dengan menggandeng Gereja HKBP dan Gereja Antonius, memperkuat identitas kolektif sebagai kawasan spiritual yang multikultural. Pendekatan ini sejalan dengan teori placemaking (Mehta, 2014) yang menekankan bahwa ruang publik yang hidup lahir dari partisipasi aktif masyarakat. Dengan strategi yang holistik, Masjid Syuhada tidak sekadar membuka pintu, tetapi merangkul dunia dengan cara-cara yang cerdas, berani, dan penuh martabat.

Menjawab Kritik: “Apakah Bedanya dengan Kafir?”

Dalam Islam, kata kafir berasal dari akar kata kafara yang berarti “menutup”. Namun, menutup diri dari realitas sosial bukanlah solusi—justru kontradiktif dengan misi Nabi Muhammad yang membuka masjid sebagai pusat peradaban inklusif (Gazalba, 1994). Masjid harus hadir sebagai ruang yang terbuka untuk semua, tetapi dengan batasan nilai yang jelas.

Seperti kata Cendekiawan Muslim Mesir, Hassan Hanafi (2002):

“Masjid bukan hanya tempat sujud, tetapi juga tempat berdialog dengan dunia.”

Meresakralisasi dengan Berani, Bukan dengan Takut

Resakralisasi Masjid Syuhada adalah proyek ambisius yang membutuhkan keberanian, bukan ketakutan. Dengan strategi arsitektur yang smart dan program yang relevan, masjid dapat menjadi episentrum sakralitas yang merangkul, bukan mengusir.

Kita tidak perlu memilih antara menjadi eksklusif atau invasi profan—kita bisa menciptakan zona sakral-profan yang dinamis, di mana masjid tidak lagi diam, tetapi aktif “berdakwah” melalui ruang, program, dan keterbukaan.

Allahu a’lam bishawab.

----

*Founder Pojok Arsitektur, marbot Masjid Syuhada Yogyakarta

Editor: Humas Syuhada

Daftar Rujukan:

  • Giddens, A. (1990). The Consequences of Modernity. Stanford University Press.

  • Gazalba, S. (1994). Mesjid: Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam. Pustaka Al-Husna.

  • Hanafi, H. (2002). Religion, Ideology, and Development. Cultural Heritage and Contemporary Change.

  • Kuntowijoyo. (2017). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Tiara Wacana.

  • Noor Suwanto. (2018). Citra Kawasan Kotabaru Yogyakarta. Jurnal Arsitektur KOMPOSISI.