Pengajian Puteri Yogyakarta (PPY) Pelopor Kajian kaum Hawa di Yogyakarta
membahas sejarah dan perkembangan Pengajian Puteri Yogyakarta (PPY), pelopor kajian Islam bagi kaum perempuan di Yogyakarta sejak 1943. Berawal dari kegelisahan atas minimnya pemahaman agama di kalangan terpelajar, PPY berkembang menjadi organisasi yang sistematis, aktif dalam pendidikan agama, sosial, dan ekonomi.
ESSAI
Panji Kumoro
4/27/20255 min read


Foto: Bu Dirman, anggota PPY nomor anggota 1, sekaligus istri mendiang Panglima Besar Jenderal Soedirman, bersiap membuka kunci pintu gerbang saat peresmian Masjid Syuhada. Sumber dok : Keluarga Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi
“...., karena pada djaman pendjadjahan Belanda, kaum terpeladjar djauh sekali dari ajaran Islam. Ja, kebanjakan dari mereka memandang agama Islam ini hanja untuk orang-orang jang masih kolot sadja...”[1]
Masjid Syuhada Yogyakarta berdiri mengemban multi fungsi. Diantaranya menyelenggarakan fungsi ritual berupa ibadah shalat lima waktu dan shalat Jum’at. Fungsi ini bersifat privat dan personal, penghambaan kepada Allah Swt dalam lingkup hablum minallah. Di samping itu, masjid bersejarah tersebut turut menyelenggarakan fungsi sosial, pemberdayaan ekonomi, pendidikan dan kemanusiaan (Hablum minannas). Salah satu fungsi edukasi maujud lewat terselenggaranya kegiatan lembaga pendidikan formal, non formal/kaderisasi dan majelis taklim. Semua lembaga terpusat dalam satu pengelolaan di YASMA (Yayasan Masjid Syuhada). Dari sekian majelis taklim yang berada dalam naungan YASMA Syuhada, terdapat unit pengajian yang unik, menarik dan istimewa, serta menjadi pelopor munculnya kajian kaum Hawa di Yogyakarta. Tulisan ini menelisik majelis taklim tersebut, dikenal dengan sebutan Pengajian Puteri Yogyakarta (PPY).
Pengajian Puteri Yogyakarta (PPY) memiliki sejarah panjang, dapat disebut sebagai pelopor perkumpulan pengajian kaum Hawa di Yogyakarta, di luar organisasi keagamaan semisal NU dan Muhammadiyah. PPY berdiri pada Juli 1943 dengan nama Pengajian Puteri Kotabaru (PPK), sebagai pelengkap hadirnya pengajian sebelumnya yang diinisiasi kaum Adam dengan Pengajian Kakung Kotabaru (PKK). Keduanya muncul di wilayah Kotabaru, teritorial elite dan terhormat dibangun Pemerintah kolonial Belanda pada awal abad XX.[2] PPY lahir dari kegelisahan kolektif atas minimnya pemahaman agama Islam serta stigma yang terbangun, Islam digambarkan agama kolot, kotor dan terbelakang. Stigmatisasi tersebut muncul tidak bisa dilepaskan dalam konteks jaman saat itu. Pemerintah kolonial Belanda berkepentingan untuk menumbuh suburkan stigma guna melanggengkan imperialisme di Hindia Belanda (Baca ; Indonesia). Sekumpulan para ibu, istri pejuang kemerdekaan dan pejabat pemerintahan berasal dari kalangan terdidik dalam pengajaran Barat, namun merasa “kehausan” dalam pengetahuan agama Islam. Antusiasme masyarakat di awal berdirinya PPY cukup besar. Bermula anggotanya hanya sekitar 20-an orang, meluas tidak hanya di lingkungan Kotabaru, niscaya jika kemudian nama tersebut menjadi tidak relevan, diganti menjadi Pengajian Puteri Yogyakarta (PPY) pada 17 Juli 1952. Anggota PPY pada 1956 tercatat sebanyak 413, suatu angka fantastis dikala itu, saat Republik Indonesia sedang mengalami turbulensi politik dan ekonomi yang berat.[3] Pada mulanya, pengajian ini diselenggarakan tiap hari Rabu, berpindah tempat dari satu anggota ke anggota berikutnya secara bergiliran, kesemuanya tinggal di sekitaran Kotabaru. Ketua pengurus PPY pada periode awal secara berurutan di pegang oleh Ny. Sutarjo, Ny. Marsito, Ny. Kasmat, Ny. Pandjiwinata, Ny. Reksowijoto, dan sejak Februari 1952 dipegang oleh Ny. Musa Mahfoeld.[4]
PPY tergolong unik, menarik dan istimewa dengan sembilan pertimbangan. Pertama, Di awal berdirnya, di samping menyelenggarakan pengajaran agama Islam, PPY turut pula melakukan kegiatan sosial berupa kunjungan ke panti asuhan, panti jompo dan lokasi bencana dengan membawa bingkisan sembako dan keperluan mendesak lainnya. Hal tersebut merupakan bentuk solidaritas sesama manusia didasari rasa sayang tanpa membedakan SARA. Kedua, PPY turut membantu anggotanya yang kesulitan secara ekonomi dengan membekali skill yang dibutuhkan, semisal kursus menjahit, rias salon, kursus pijat bayi. Diharapkan uluran tangan berupa “memberi kail” mendorong semangat kemandirian dan keteguhan anggota PPY.
Ketiga, di PPY pola organisasi terbentuk rapi, sistematis dan profesional. Hal ini dikenal sejak awal, sehingga dalam tata kelolanya terdapat 9 (sembilan) unit beserta job desk terperinci. Berikut unit yang ada di PPY masa periode awal :
Daftar Unit Pengajian Puteri Yogyakarta Tahun 1956
Keempat, pola pengajian di PPY disusun secara sistematis dan komprehensif. Kajian dimulai dengan membaca al Qur’an secara bersama, dilanjutkan dengan tafsir al Qur’an, materi Aqidah dan fiqih, yang memberi materi terdiri dua ustadzah dalam setiap kajian. Buku rujukan yang digunakan sebagai pedoman mempelajari al Qur’an adalah Tafsir al Qur’an terbitan Universitas Islam Indonesia. Sedangkan materi aqidah, merujuk pada buku kuliah Aqidah tulisan Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc, MA. Pola ini berlangsung hingga sekarang. Dapat ditambahkan, peserta pengajian terbuka untuk muslimah, namun bersyarat minimal sudah dapat membaca al Qur’an.[5]
Kelima, pengajian yang dilakukan tergolong advance, materi disusun sistematis, dengan bahasa Jawa sebagai pengantar diskusi,[6] dan sesekali digunakan bahasa Belanda guna menjelaskan istilah tertentu.[7] Pada masa selanjutnya, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar hingga kini. Mayoritas audience ibu-ibu berpendidikan tinggi serta pengajarnya bereputasi mumpuni. Tercatat sebagai pengajar di PPY adalah Ny. Badiah Dalhar, Ny. Anisah Djufri, Ny. Mundjiah, Ny. Baroroh, Ny. Asiah Anies, Ny. Juchanah, Ny. Mariam dan Ny. Badilah Zuber. Keenam, kegiatan PPY turut aktif dalam pengumpulan dana pembangunan Masjid Syuhada. Pada saat proses pembangunan, dalam kisaran 1949-1952, PPY menggencarkan usaha pengumpulan donasi baik secara sukarela maupun dengan sumbangan tetap dari anggota maupun pihak luar untuk turut membantu terselesainya masjid bersejarah tersebut. PPY turut pula memberi masukan agar ada ruangan khusus perempuan, hal ini terakomodir dalam Mushola Putri yang berada di sebelah sisi dalam perpustakaan Masjid Syuhada.
Ketujuh, pada masa Revolusi Indonesia (1946-1949), saat ibu kota berada di Yogyakarta, ibu Fatmawati, istri Presiden RI, Ir. Soekarno, turut aktif di pengajian ini. Pengajian pernah ngunduh di Gedung Agung, jalan Malioboro. Saat itu bu Fat, panggilan akrab beliau, membacakan ayat al Qur’an. Peristiwa ini terjadi kisaran 1946/7. Delapan, anggota pengajian yang tercatat di tahun 1958 sebanyak 413 anggota, lengkap dengan alamat dan nomer telponnya. Mereka merupakan istri para tokoh yang berperan besar bagi republik Indonesia. Penulis telah menelusuri sebagian kecil nama yang ada, menyalin dan memberi ulasan secukupnya terkait nama-nama tersebut. Hasilnya terdapat dalam kolom di bawah ini.
Anggota PPY tahun 1956 Beserta Kiprahnya
Sembilan, setelah mengalami banyak perkembangan, dengan jumlah anggota yang mencapai 413 orang pada saat lustrum ketiga atau 15 tahun sejak berdirinya, maka Pengadjian Puteri Kotabaru (PPK) sejak 17 juli 1952 berubah menjadi Pengajian Puteri Yogyakarta (PPY). Jamaahnya tidak hanya dari Kotabaru, tapi dari berbagai daerah Yogyakarta, sehingga sudah tidak tepat lagi jika hanya menggunakan penamaan lokasi Kotabaru. Konsekuensi dengan banyaknya para jamaah, pengurus PPY saat itu membuat sektor-sektor berdasar daerah masing-masing. Misal sektor Bausasran, Kotabaru, Terban,Jetis dll. Tiap sektor diberi instruksi untuk membentuk kelompok pengajian puteri di daerah masing-masing.[8] Terbentuknya pengajian-pengajian di tiap sektor berjalan dengan massif. Sampai tulisan ini dibuat, masih dapat dijumpai rintisan pengajian sektor Bausasran yang berpusat di masjid al Amna dan Masjid al Furqon yang digunakan sebagai basis pengajian sektor Jetis. Maka dapat dikatakan, PPY adalah rahim yang melahirkan berbagai organisasi pengajian puteri di Yogyakarta.[9]
*Anggota Badan Pelaksana Harian (BPH) Yayasan Masjid Syuhada Yogyakarta, Peneliti Sejarah Masjid Syuhada.
Editor: Humas Syuhada
Referensi:
[1] Tim Penyusun Boklet Peringatan 15 Tahun, Pengadjian Puteri Jogjakarta, Yogyakarta, tanpa penerbit, 1958, hal. 5
[2]Sejarah Kotabaru Yogyakarta dapat disimak dalam Abdurrahman Suryomihardjo, Sejarah Perkembangan Sosial Kota Yogyakarta 1880-1930, Yogyakarta, Terawang, 2000
[3] Tim Penyusun Boklet Peringatan 15 Tahun, Pengadjian Puteri Jogjakarta, Yogyakarta, tanpa penerbit, 1958, hal. 5
[4] Ibid, hal. 6-7
[5] Hasil Wawancara via telepon dengan ustadzah Dra. Hj.Uswatun Hasanah binti R. Hadjid, pengajar di PPY. Wawancara dilakukan via telepon dan email pada 13 September 2017
[6] Tim Penyusun Boklet 15 Tahun, Pengadjian ..., hal. 5.
[7] Wawancara dengan Ibu Sarsri Giyanti Soedarmono, pernah menjabat sebagai Ketua Pengajian Puteri Yogyakarta, di kediamanannya kawasan Bausasran Kota Yogyakarta. Wawancara berlangsung pada 15 Oktober 2016 dan 08 Januari 2018.
[8] Suratmin, Mengenal Selintas Masjid Syuhada Yogyakarta, (Yogyakarta, Masyarakat Sejarawan Cabang Yogyakarta, 1997), hal.130-131
[9] Wawancara dengan ibu Soedarmono tanggal 15 Oktober 2016.




Sejarah
Masjid bersejarah, penghargaan para pejuang.
Dakwah
Pendidikan
+62851-1702-1952
© 2024. All rights reserved.