Meritokrasi dalam Sejarah Peradaban Islam Klasik: Peluang Setara untuk Semua

Tulisan dari resensi Buku ini menunjukkan bahwa sejak awal Islam membangun masyarakat egaliter berbasis ilmu dan ketakwaan, bukan status sosial. Melalui contoh dari masa Nabi hingga Abbasiyah, ia menegaskan bahwa mobilitas sosial dan peluang setara telah menjadi prinsip utama peradaban Islam.

ESSAI

Alvin Qodri Lazuardy

11/24/20253 min read

Foto: Buku Social Mobility in Islamic Civilization karya Muhammad Abdul Jabbar Beg, M.A.

Meritokrasi dalam Sejarah Peradaban Islam Klasik: Peluang Setara untuk Semua

Oleh: Alvin Qodri Lazuardy*

Resensi Buku Mobilitas Sosial dalam Peradaban Islam Karya Muhammad Abdul Jabbar Beg. (Terjemahan: Luqman Hakim)

Di tengah cerita sejarah Islam yang sering dipenuhi heroisme para tokoh besar, buku kecil terbitan 1988 ini hadir seperti sebuah jeda penting: ia mengajak pembaca melihat bagaimana Islam sejak masa awal membongkar tembok pembatas kelas sosial. Alih-alih terjebak pada glorifikasi masa silam, buku ini justru kembali pada prinsip dasar ajaran Islam: bahwa tidak ada kasta, tidak ada kelas “atas–bawah”, dan manusia hanya diukur dari taqwa dan ilmu, bukan harta, gelar, atau garis keturunan.

Dengan gaya penulisan yang ringkas namun bernas, Mobilitas Sosial dalam Peradaban Islam karya Muhammad Abdul Jabbar Beg menyajikan realitas historis yang sering luput dari narasi arus utama. Generasi Z Muslim yang tumbuh di era platform digital akrab dengan isu kesetaraan, akses pendidikan, dan peluang mobilitas sosial akan menemukan buku ini relevan sekaligus membuka perspektif baru tentang bagaimana Islam lebih dulu mengajarkan prinsip-prinsip itu jauh sebelum istilah meritokrasi populer hari ini.

Melacak Jejak Mobilitas Sosial dari Zaman Jahiliyah hingga Abbasiyah

Struktur buku yang dibagi ke dalam tiga bagian besar memudahkan pembaca muda memahami konteks sejarah secara berlapis. Bagian pertama mengupas kondisi masyarakat Arab pra-Islam, sebuah masyarakat yang sangat hierarkis, di mana kebangsawanan menentukan martabat seseorang. Penulis memperlihatkan bagaimana Islam hadir sebagai revolusi sosial: bukan sekadar mengubah ritual, tapi mengubah cara manusia menilai manusia.

Pada bagian kedua, contoh-contoh mobilitas sosial awal pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin disajikan seperti kumpulan kisah inspiratif yang terasa akrab bagi pembaca modern. Ada Umar bin Khaththab, yang meski bukan bangsawan terkemuka Quraisy, naik menjadi negarawan hebat. Ada Salman al-Farisi, mantan budak dari Persia yang kemudian menjadi pejabat tinggi. Ada pula Imam Abu Hanifah, seorang anak pedagang yang menjadi ulama agung dan pendiri mazhab besar.

Dalam bahasa sederhana, buku ini menunjukkan bahwa “kelas sosial” dalam Islam bukanlah takdir. Semua punya peluang naik melalui jalan ilmu, integritas, dan ketakwaan.

Mawali: Bukti Bahwa Islam Membuka Peluang untuk Semua

Yang membuat buku ini menarik bagi pembaca muda adalah cara Abdul Jabbar Beg mengangkat kisah mawali, kelompok non-Arab yang masuk Islam dan sering dipandang sebagai “warga kelas dua” pada awal masa Umayyah. Namun sejarah menunjukkan hal sebaliknya: banyak dari mereka justru menjadi gubernur, pejabat keuangan, jenderal militer, bahkan penasihat istana.

Penjelasan ini menggugurkan anggapan bahwa peradaban Islam hanya dibangun oleh bangsa Arab. Justru, Islam memberi jalan luas bagi siapa pun yang mau berkontribusi — sebuah pesan yang sangat dekat dengan semangat inklusivitas generasi Z.

Era Abbasiyah: Ketika Rakyat Jelata Ikut Naik ke Panggung Sejarah

Bagian ketiga buku mengulas masa keemasan Islam di bawah Abbasiyah. Pembahasan tentang perkawinan lintas status, mobilitas horizontal (perpindahan profesi), hingga banyaknya masyarakat non-Arab yang naik kelas sosial, memperlihatkan betapa cair dan terbukanya struktur sosial dunia Islam kala itu.

Bagi pembaca muda yang sedang mencari gambaran ideal tentang masyarakat muslim yang inklusif, kreatif, dan terbuka, bab ini terasa seperti menemukan “model peradaban” yang selama ini dicari-cari.

Kesan Akhir

Mobilitas Sosial dalam Peradaban Islam adalah buku ramping yang tidak berpretensi menjadi karya monumental. Namun justru karena kesederhanaannya, buku ini terasa kuat dan mudah dicerna oleh generasi muslim hari ini. Ia menawarkan cara pandang baru tentang sejarah Islam: bukan sekadar deretan peperangan atau pergantian dinasti, melainkan cerita tentang peluang, perubahan, dan daya gerak sosial.

Buku ini cocok bagi pelajar, mahasiswa, santri, dan siapa saja yang ingin memahami bahwa Islam sejak awal adalah agama yang meruntuhkan tembok kelas, mengangkat martabat manusia, dan membuka masa depan bagi siapa pun yang mau berusaha.

Ringkas, jernih, dan tetap bernas sebuah bacaan yang layak untuk generasi Z muslim yang ingin memahami Islam bukan hanya dari sisi doktrin, tapi juga dari dampak sosialnya.

* Serambi Peradaban Forum/ Alfuwisdom Publishing Piyungan, Kab. Bantul, Yogyakarta

DATA RINGKAS BUKU

Judul Asli: Social Mobility in Islamic Civilization

Penulis: Muhammad Abdul Jabbar Beg, M.A.

Asal Karya: Disertasi Ph.D., Cambridge (1981), University of Malaya

Judul Terjemahan: Mobilitas Sosial dalam Peradaban Islam

Penerjemah: Luqman Hakim

Penyunting: Achsin Mohammad

Penerbit: Penerbit Pustaka, Bandung

Alamat: Jl. Ganesha 7, Bandung 40132

Cetakan: Cetakan I – 1408 H / 1988 M

Editor: Humas Syuhada