Menyulam Kembali Persatuan Umat: Refleksi atas Fragmentasi dan Tantangan Kolaborasi Umat Islam Masa Kini

mengulas problem keterpecahan umat Islam masa kini yang ditandai dengan kecenderungan berjalan sendiri-sendiri. Akar masalahnya adalah mentalitas instan dan kebiasaan menghindari konflik dengan membuat kelompok baru alih-alih memperbaiki yang ada. Dalam konteks masjid, fenomena ini menciptakan masjid-masjid yang berdiri tanpa jejaring yang saling terhubung.

ESSAI

Kholid Misyálul Haq, S.Ars

4/21/20253 min read

Foto: Ilustrasi Bold Sketch dari Aksi Bela Palestina di Titik Nol Malioboro Yogyakarta

Oleh : Kholid Misyálul Haq*

Dinamika kehidupan umat Islam di era modern menghadapi kompleksitas baru. Di tengah kemajuan teknologi dan informasi yang semestinya menjadi alat pemersatu, realitas justru menunjukkan sebaliknya: keterpecahan yang semakin terasa. Persoalan-persoalan teknis seperti penyeragaman jadwal ibadah pun kerap menimbulkan perbedaan yang melebar menjadi perpecahan yang struktural. Harapan besar untuk menyatukan umat Islam dalam isu global, seperti perjuangan kemerdekaan Palestina, terasa semakin jauh ketika pada tataran lokal saja, umat kesulitan untuk bersatu dalam langkah kecil.

Fenomena keterpecahan ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan umat, salah satunya dalam kehidupan kemasjidan. Masjid yang idealnya menjadi pusat aktivitas dan konsolidasi umat, kini tumbuh menjadi entitas-entitas yang terpisah, berjalan dengan programnya sendiri-sendiri. Tidak sedikit individu atau kelompok yang memilih keluar dari sebuah sistem kemasjidan karena ketidaknyamanan atau perbedaan visi, lalu mendirikan masjid baru sebagai ekspresi dari idealisme yang tidak terwujudkan. Alhasil, terbentuklah jejaring masjid yang fragmentatif, yang berjalan sendiri-sendiri, tanpa keterhubungan yang kuat. Ironisnya, masing-masing masjid tersebut pada hakikatnya memiliki tujuan mulia yang serupa: menjadi pusat peradaban Islam.

Salah satu akar mendasar dari sulitnya persatuan umat Islam saat ini adalah mudahnya seseorang untuk menghindari konflik dan tantangan dalam proses perbaikan. Budaya instan dan mentalitas "jalan pintas" membuat banyak individu lebih memilih membentuk kelompok baru daripada memperbaiki yang lama. Hal ini menyebabkan lahirnya banyak "circle" atau lingkaran sosial baru yang tidak memiliki hubungan kuat dengan lingkaran lain. Jika pola ini terus berlanjut, maka wajar jika umat Islam sulit membangun konsolidasi besar dan menjadi kekuatan bersama.

Sebagaimana dikemukakan oleh salah satu seorang pemikir Muslim kontemporer, “Masalah kita bukanlah kurangnya sumber daya, melainkan kurangnya semangat kolektif dan keterikatan ideologis yang menyatukan kita dalam gerakan yang sama.” Pemikiran ini menggambarkan betapa krusialnya kesadaran kolektif dalam menyatukan langkah umat.

Solusi: Memperkuat Jejaring dan Peran Masjid

Dalam konteks masjid, kita tidak bisa kembali ke masa lalu dan meruntuhkan masjid-masjid yang telah berdiri demi menyisakan satu masjid untuk semua fungsi, seperti di masa Nabi Muhammad SAW. Namun, kita bisa belajar dari prinsip masjid Rasulullah: satu tempat dengan banyak fungsi dan keterlibatan semua lapisan masyarakat.

Solusi yang lebih relevan untuk kondisi sekarang adalah membangun jejaring masjid—sebuah konsep yang pernah dikembangkan oleh almarhum Pak Andika, dosen Arsitektur Universitas Muhammadiyah Surakarta. Beliau menekankan bahwa setiap masjid, meskipun memiliki fokus atau spesialisasi peran yang berbeda (masjid kampus, masjid pasar, masjid permukiman, dsb), seharusnya tidak berjalan sendiri. Melainkan saling terhubung dalam jaringan yang memungkinkan kolaborasi lintas peran.

Dengan jejaring ini, masjid yang kuat dalam aspek pendidikan bisa bersinergi dengan masjid yang memiliki kapasitas dalam bidang ekonomi atau sosial. Dengan begitu, kerja sama bukan dimaknai sebagai “mengerjakan hal yang sama secara bersama-sama”, tetapi “mengerjakan peran yang berbeda secara bersama-sama”—sehingga terwujud efisiensi dan kekuatan kolektif.

Menuju Konsolidasi Umat yang Efektif

Konsolidasi umat Islam tidak mungkin terjadi secara instan. Ia memerlukan proses yang panjang, dimulai dari kesadaran individu, penguatan kelompok kecil, pengorganisasian aksi bersama, hingga pada akhirnya terbentuk gerakan besar yang kokoh dan terarah. Dalam hal ini, masjid bisa menjadi simpul-simpul strategis yang menyatukan gerakan umat secara perlahan namun pasti.

Harapan besar kita adalah umat Islam tidak lagi menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk memisahkan diri, tetapi sebagai kekuatan untuk membangun jembatan. Proses penyatuan tidak lahir dari langkah besar secara tiba-tiba, tetapi dari serangkaian upaya kecil yang terus dirawat, dijaga, dan dikembangkan secara konsisten.

Sebagaimana Allah SWT berfirman:

“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai...”
(QS. Ali Imran: 103)

Ayat ini bukan hanya perintah spiritual, tapi juga panggilan sosial untuk membangun kembali kesatuan umat yang kokoh. Kini saatnya kita menumbuhkan kembali semangat ukhuwah—baik dalam ranah pemikiran, amal, maupun kelembagaan—untuk menjawab tantangan zaman dan memperkuat peran umat Islam dalam membela nilai-nilai kebenaran dan keadilan di tingkat lokal hingga global.


----

*Founder Pojok Arsitektur, marbot Masjid Syuhada Yogyakarta

Editor: Humas Syuhada