Magnet Tongkrongan Bebas: Kritik Sosial-Arsitektural Kawasan Jalan Masjid Syuhada Kotabaru
Esai ini mengkritik kegagalan desain kawasan Masjid Syuhada Kotabaru yang memicu tongkrongan bebas, lalu menawarkan solusi arsitektur dan sosial berbasis nilai religi untuk transformasi ruang.
ESSAI
Kholid Misy'allul Haq, S.Ars
8/9/20253 min read


Gambar: Ilustrasi sketsa kondisi dunia malam di Jalan I Dewa Nyoman Oka No. 13 depan masjid syuhada
Merancang Kawasan Religi yang Humanis: Tinjauan Arsitektur dan Sosial atas Fenomena Tongkrongan Bebas di Depan Masjid Syuhada Kotabaru
Oleh : Kholid Misyálul Haq*
Suatu malam di pertengahan Juli 2025, saya menyusuri Jalan I Dewa Nyoman Oka di Kotabaru, Yogyakarta. Di depan Masjid Syuhada, pemandangan yang terlihat justru kontras dengan nuansa religi yang diharapkan: sekelompok pemuda-pemudi duduk dengan kursi di belakang kap mobil terbuka, tertawa riuh dengan bahasan vulgar dan kera terdengar serta tak jarang bekas botol minuman ditemukan esok paginya, sementara lampu jalan yang temaram seolah mengaburkan batas antara ruang sakral dan dunia hiburan. Dua bulan sebelumnya, kawasan ini ramai oleh lapak street coffee ilegal dan oknum premanisme (meskipun sekarang masih), namun kini masalah berganti bentuk—tongkrongan bebas pergaulan yang kerap meninggalkan jejak botol miras dan kesan mudharat.
Fenomena ini memantik pertanyaan mendasar: mengapa lingkungan Masjid Syuhada, yang notabene adalah kawasan religi dan pendidikan, justru menjadi magnet pergaulan bebas? Dari sudut pandang arsitektur, jawabannya mungkin terletak pada kegagalan desain kawasan dalam "membentuk perilaku". Sebagaimana diungkapkan oleh Kevin Lynch (1960), citra kota dibentuk oleh elemen jalur, batas, dan noda aktivitas. Di Kotabaru, kawasan kolonial yang dirancang untuk eksekutif Belanda awal abad ke-20 jalan lebar, lampu temaram, dan minimnya kendaraan (karena bukan jalan primer) justru menciptakan atmosfer "nyaman" untuk nongkrong, alih-alih mendukung aktivitas keagamaan.
Dari Kawasan Kolonial ke Ruang Pergaulan Bebas
Kotabaru adalah produk arsitektur kolonial Belanda yang awalnya dirancang sebagai permukiman elit dengan karakteristik: jalan lebar, halaman luas, dan pepohonan rindang (Noor Suwanto, 2018). Namun, pasca-1997, terjadi pergeseran fungsi masif rumah tinggal berubah menjadi kafe, kantor, dan pusat kuliner (Renindya & Rivi, 2022). Proses placemaking ini mengubah citra kawasan dari "zona spiritual" menjadi "zona hiburan", terutama di sepanjang Jalan I Dewa Nyoman Oka.
Paradoks Arsitektur Religi vs. Ruang Publik
Masjid Syuhada, sebagai bangunan bersejarah, justru dikelilingi oleh elemen yang bertolak belakang:
Jalan Lebar dan Lampu Temaram: Menciptakan kesan "aman" untuk nongkrong, tetapi minim pengawasan.
Absennya Zonasi Aktivitas: Tidak ada pembatas fisik (seperti plaza atau taman) yang mengarahkan pengunjung ke aktivitas positif.
Fungsi Ruang Profan Masjid yang Pasif: Berbeda dengan konsep Shuffah di Masjid Nabawi (tempat bermukim sementara bagi kaum lemah), Halaman Masjid Syuhada justru kosong di malam hari, meninggalkan ruang untuk diisi aktivitas liar.
Dari sini, kita melihat kegagalan behavioral architecture konsep bahwa desain ruang dapat mengarahkan perilaku penggunanya (Mehta, 2014). Kawasan ini "dirancang" untuk lalu-lalang, bukan berkumpul, tetapi justru dimanfaatkan sebaliknya.
Tinjauan Kritis: Kebijakan vs. Desain Kawasan
Upaya penertiban oleh aparat selama ini seperti razia street coffee atau pelarangan lapak ilegal ternyata hanya solusi semu. Akar masalahnya ada pada:
Ketiadaan Program Ruang Publik: Masjid abai memanfaatkan space depan untuk kegiatan keumatan (contoh: pengajian malam, pasar wakaf).
Desain yang Tidak Partisipatif: Trotoar dan jalur pedestrian tidak didesain untuk aktivitas komunal, sehingga memicu penggunaan spontan (seperti nongkrong di kap mobil).
Teladan Arsitektur Profetik
Sejarah Islam menawarkan solusi melalui dua prinsip (Kuntowijoyo, 2017):
Transformasi Ruang: Serambi masjid harus aktif difungsikan (mirip Ashabul Shuffah) sebagai pusat kegiatan edukatif di malam hari.
Emansipasi Sosial: Melibatkan pemuda dalam program masjid (seperti lapak UMKM syariah) untuk mengalihkan tongkrongan negatif.
Opsi Redesain Kawasan
Di tengah gemerlap lampu jalan Kotabaru yang temaram, serambi Masjid Syuhada seharusnya bisa menjadi "ruang ketiga" tempat di antara rumah dan kafe yang mendorong interaksi positif bukan malah alih-alih pergaulan bebas. Pertama, ruang profan masjid (berupa halaman dan serambi) perlu dihidupkan kembali dengan konsep outdoor learning space: kursi permanen dari kayu yang nyaman, pencahayaan hangat bercahaya kuning keemasan, dan partisi knock-down bergaya Arabesque yang memisahkan area diskusi keagamaan dari kebisingan jalan. Bayangkan suasana malam di mana pemuda tidak lagi nongkrong di kap mobil, tetapi duduk melingkar membahas kitab Al-Muwatta' dengan segelas kopi gratis dari masjid. Kedua, area depan masjid yang kini jadi "kantong" tongkrongan harus bertransformasi menjadi ground floor lapak UMKM syariah. Di sini, pemuda setempat bisa menjual kopi kekinian halal dengan konsep take away atau jika mendukung adanya tempat untuk komunal space sebagai tongkrongan ini harus berada di area profan masjid sehingga menjadi ikhtiar untuk menihilkan aspek negatif tongkrongan pemuda saat ini (syari dapat, kalcer pun tetap dapat), sementara taman interaktif di sekelilingnya ditanami pohon trembesi yang rindang, dengan bangku melingkar dari beton ekspos yang dingin di siang hari namun nyaman untuk diskusi malam hari.
Langkah ini bukan sekadar mengubah fisik ruang, tapi merancang "perilaku baru". Seperti dulu Nabi mengubah Shuffah menjadi tempat tinggal sekaligus sekolah para sahabat, Masjid Syuhada bisa menjadi contoh bagaimana arsitektur lingkungan mampu "membisikkan" ajakan: "Di sini tempatmu belajar, bukan sekadar bergosip."
Fenomena tongkrongan bebas di depan Masjid Syuhada adalah cermin kegagalan kita pengelola masjid, arsitek, dan pemerintah dalam menciptakan ruang yang "hidup" secara positif. Sebagaimana Kotabaru dulu dirancang untuk elit kolonial, kini saatnya merancang ulang kawasan ini untuk masyarakat religius-modern.
Solusinya bukan sekadar penertiban, tetapi transformasi ruang melalui pendekatan arsitektur profetik: memadukan desain partisipatif, program keumatan, dan pelibatan pemuda. Jika Masjid Nabawi bisa menjadi pusat peradaban, mengapa Masjid Syuhada tidak?
Allahu a’lam bishawab.
----
*Founder Pojok Arsitektur, marbot Masjid Syuhada Yogyakarta
Editor: Humas Syuhada
Daftar Rujukan:
Lynch, K. (1960). The Image of the City. MIT Press.
Mehta, V. (2014). The Street: A Quintessential Social Public Space. Routledge.
Kuntowijoyo. (2017). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Tiara Wacana.
Noor Suwanto. (2018). Citra Kawasan Kotabaru Yogyakarta. Jurnal Arsitektur KOMPOSISI.
Renindya & Rivi. (2022). Placemaking dan Perubahan Fungsi Bangunan di Kotabaru. Seminar Nasional UGM.
Sejarah
Masjid bersejarah, penghargaan para pejuang.
Dakwah
Pendidikan
+62851-1702-1952
© 2024. All rights reserved.