Kajian Kebudayaan Masjid Syuhada Ungkap Jejak Ilmiah Tradisi Tahlil Nusantara
Masjid Agung Syuhada Yogyakarta kembali menghadirkan Kajian Ahad Pagi Ngaji Kebudayaan yang kali ini menghadirkan pembicara Ustadz M. Yaser Arefat, seorang peneliti naskah klasik dan pengkaji Islam Nusantara.
BERITA
Humas Syuhada
11/10/20253 min read


Foto: Kajian Ahad Pagi oleh Ustadz Yaser Arefat di Ruang Utama Masjid Syuhada
Menelusuri Akar Sejarah Bacaan Tahlil di Tanah Jawa: Dari Tegalsari hingga Kehidupan Modern
Kajian Kebudayaan Masjid Syuhada Ungkap Jejak Ilmiah Tradisi Tahlil Nusantara
Yogyakarta, 2025 — Dalam suasana hangat dan penuh makna, Masjid Agung Syuhada Yogyakarta kembali menghadirkan Kajian Ahad Pagi Ngaji Kebudayaan yang kali ini menghadirkan pembicara Ustadz M. Yaser Arefat, seorang peneliti naskah klasik dan pengkaji Islam Nusantara. Dalam kajian bertajuk “Melacak Akar Sejarah Bacaan Tahlil di Tanah Jawa: Dari Tegalsari hingga Kehidupan Modern”, Ustadz Yaser memaparkan hasil penelitiannya mengenai asal-usul bacaan tahlil yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi keagamaan masyarakat Jawa.
Kajian ini berangkat dari penemuan dua naskah kuno berusia sekitar dua abad yang disimpan di kawasan Suronatan, Yogyakarta, dan Ngeruweng, Jawa Timur. Naskah-naskah tersebut ditulis dalam aksara Arab dan Pegon di atas kertas Eropa abad ke-19, dan menjadi bukti penting bahwa bacaan tahlil yang diamalkan masyarakat Jawa saat ini memiliki akar yang panjang dalam sejarah Islam Nusantara.
Jejak Tahlil dari Tegalsari: Warisan Kiai Ageng Muhammad Besari
Dalam pemaparannya, Ustadz Yaser menjelaskan bahwa bacaan tahlil modern ternyata merupakan turunan dari ratib Kiai Ageng Tegalsari, atau Kiai Muhammad Besari, pendiri Pondok Pesantren Tegalsari di Ponorogo sekitar tahun 1730-an. Ratib tersebut menjadi dasar dari praktik tahlil yang menyebar ke wilayah Mataraman seperti Yogyakarta, Solo, Tulungagung, hingga Ponorogo.
“Bacaan tahlil yang kita kenal hari ini sebenarnya berasal dari ratib yang lebih panjang dan kompleks, disusun oleh Kiai Ageng Tegalsari. Versi yang sekarang hanyalah bentuk penyederhanaan agar mudah diamalkan oleh masyarakat luas,” jelas Ustadz Yaser di hadapan jamaah.
Dalam naskah kuno yang ditemukan, urutan bacaan tahlil dimulai dengan taqobbalallahu minkum wa minna, diikuti lailahaillallah wallahu akbar, lalu Al-Fatihah yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. Terdapat pula bacaan Surah At-Takasur dan beberapa tambahan seperti la iqraha fiddin dan Allahu waliyulladzina amanu, yang kini jarang ditemukan dalam praktik tahlil masa kini.
Sanad Keilmuan: Dari Sunan Bayat hingga Ronggowarsito
Yang menarik, hasil penelusuran menunjukkan bahwa tradisi tahlil ini memiliki sanad keilmuan panjang yang bermula dari Sunan Bayat, diteruskan kepada Panembahan Jiwo, Panembahan Minangkabul, Pangeran Sumende I & II, Kiai Ageng Donopuro, Kiai Muhammad Besari, Kiai Ilyas Besari, dan Kiai Kasan Besari, hingga sampai kepada Raden Ngabei Ronggowarsito.
“Sanad ini menunjukkan bahwa tahlil bukan praktik yang muncul tiba-tiba, tetapi memiliki akar keilmuan dan spiritual yang kuat dalam sejarah Islam Jawa,” ujar Ustadz Yaser.
Transformasi dan Adaptasi Tradisi Tahlil
Seiring berjalannya waktu, bacaan tahlil mengalami proses transformasi dan adaptasi. Dari bentuk ratib panjang yang hanya diamalkan di pesantren, menjadi versi ringkas yang dipakai masyarakat dalam berbagai acara doa bersama. Proses ini, menurut Ustadz Yaser, terjadi secara alami seiring perkembangan zaman dan kebutuhan sosial.
“Percetakan modern juga punya peran besar dalam memformat bacaan tahlil. Sayangnya, banyak penerbit hanya menyalin teks tanpa memahami konteks sejarahnya,” ungkapnya.
Keragaman praktik tahlil juga menjadi fenomena menarik. Di wilayah Magelang, misalnya, tahlil dilantunkan dengan irama selendro dan disertai zikir “Ya Allah, ya Nur, ya Haqq, ya Mubin”. Sementara di Tempel, Sleman, tahlil diiringi syair berbahasa Jawa yang berisi doa permohonan ampun.
“Keberagaman ini bukanlah penyimpangan, justru menunjukkan kekayaan spiritual dan ekspresi budaya Islam Nusantara yang tetap menjaga esensinya,” tambahnya.
Menjawab Kontroversi dan Melestarikan Warisan
Dalam sesi diskusi, Ustadz Yaser juga menyinggung perdebatan seputar praktik tahlilan. Ia mengutip pendapat Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam Al-Hawi lil Fatawi, yang menyebut bahwa tradisi berkumpul dan berdoa bagi orang yang meninggal sudah dilakukan sejak masa tabi’in.
“Tahlilan tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari hingga seribu hari bukan tanpa dasar. Tradisi ini memiliki filosofi mendalam tentang perjalanan ruh manusia menuju alam ilahiyah,” jelasnya.
Namun, ia juga menyoroti tantangan besar dalam melestarikan khazanah ini. Beberapa naskah kuno, termasuk milik keluarga Kaji Ngali di Suronatan, kini terancam hilang karena faktor ekonomi dan minimnya perhatian terhadap pelestarian warisan literasi Islam Jawa.
“Tragedi perampokan naskah Keraton Yogyakarta oleh Raffles pada tahun 1812 menjadi contoh bagaimana rantai keilmuan kita pernah terputus. Kini tugas kita menjaga yang tersisa,” tegasnya.
Menghidupkan Kembali Kesadaran Sejarah dan Spiritualitas
Ustadz Yaser menutup kajian dengan pesan mendalam tentang pentingnya memahami akar tradisi sebelum menilainya. Ia menegaskan bahwa tahlil bukan sekadar ritual, melainkan media untuk memperkuat ikatan spiritual dan sosial antarumat.
“Tahlil, yasinan, atau doa apapun bentuknya—yang utama adalah esensinya: mengingat Allah, berdoa, dan mempererat ukhuwah. Dengan memahami akar sejarah, kita bisa menghargai tradisi tanpa terjebak dalam fanatisme,” pungkasnya.
Kajian yang dihadiri oleh ratusan jamaah ini berhasil membuka cakrawala baru bahwa tradisi Islam Jawa memiliki fondasi ilmiah, spiritual, dan historis yang kuat. Melalui pemahaman yang mendalam, Masjid Syuhada kembali menegaskan perannya sebagai pusat dakwah, literasi, dan pelestarian budaya Islam Nusantara yang mempersatukan nilai keislaman dan kearifan lokal.
------------
Humas Syuhada
Sejarah
Masjid bersejarah, penghargaan para pejuang.
Dakwah
Pendidikan
+62851-1702-1952
© 2024. All rights reserved.
